Sunday 12 April 2009

Ironi Survey Perguruan Tinggi Terbaik



Pada harian Jawa Pos Radar Semarang pada Selasa, 19 Februari 2008, terdapat berita bahwa Undip termasuk dalam PTN kelas dunia. Di situ dinyatakan bahwa menurut laporan tahunan pembangunan pendidikan nasional yang dikeluarkan Depdiknas tahun 2008, Undip menduduki urutan ke 4 PTN berkelas dunia dari Indonesia. Tiga teratas diduduki oleh UGM, UI, dan ITB. Di bawah Undip terdapat Unair, IPB, serta UT. Ke tujuh PTN ini dipilih The Times Higher Education Suplemen (THES) dari survey yang dilakukan terhadap 12.000 perguruan tinggi di dunia. Oleh karena itu, Mendiknas Bambang Sudibyo pun menyerahkan anugerah Anindyaguna, sebuah anugerah yang diberikan kepada PTN dan UT yang masuk dalam jajaran World Class University.
Berdasarkan peringkat yang dibuat THES, tahun 2006 Undip menduduki ranking ke 495 dari 520 perguruan tinggi terbaik di dunia. Kemudian pada tahun 2007 naik ke peringkat 484.
Ke depan Undip menargetkan masuk menjadi jajaran 200 sampai 300-an perguruan tinggi terbaik di dunia. Salah satu upaya untuk mencapai hal itu adalah menginternasionalisasi kurikulum, peningkatan teknologi informasi bagi proses belajar mengajar serta meningkatkan riset yang dilakukan para dosen (Jawa Pos, 19 Februari 2008).
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Prof. DR. dr. Susilo Wibowo,MS,Med,Sp.And, selaku rektor Undip pada acara Wisuda ke-108 Undip yang juga diikuti oleh penulis. Beliau mengatakan, bahwa menurut survey sebuah majalah internasional terkemuka (Forbes atau apalah,…penulis agak lupa) dinyatakan bahwa Undip merupakan salah satu universitas yang masuk 1000 besar di dunia. Tak ayal, seluruh hadirin, baik wisudawan dan orangtua wisudawan yang memenuhi ruang Prof. Sudharto, Tembalang, tempat dilangsungkannya acara wisuda, bergemuruh dengan tepuk tangan meriah menanggapi pernyataan itu. Akan tetapi, dalam hati kecil saya, saya tersenyum kecut mendengarkan hal tersebut. Apalagi, melihat berita Jawa Pos di atas. Memori saya pun terbayang ke belakang mengingat semua yang telah saya lalui di kampus tercinta ini…………………………………………..
Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena apa yang penulis alami sewaktu kuliah di sana, rasanya kok tidak sesuai dengan hasil survey oleh THES. Sewaktu penulis berkuliah di sana, tak tampak adanya mutu pendidikan tinggi yang layak untuk disejajarkan dengan universitas-universitas dunia lainnya.
Hal itu penulis rasakan pertama kali sewaktu mengikuti penerimaan mahasiswa Undip angkatan 2002-2003. Pelaksanaannya sendiri dilaksanakan di Stadion Undip, Tembalang. Pada waktu itu penulis ingin sekali menunaikan “hajat” sebagaimana layaknya manusia biasa. Akan tetapi, karena keterbatasan tempat dan banyaknya orang lain yang antre menyebabkan tidak tertampungnya sebagian besar lainnya. Karena hasrat sudah tidak tertahankan, maka penulis mencari “tempat hajatan” yang lain, dan kali ini penulis menemukan di kompleks tengah stadion tersebut. Segera saja penulis diusir oleh seseorang berpenampilan perlente, berdasi, dan botak, yang penulis pikir merupakan salah seorang petinggi Undip. Alasan yang ia kemukakan, “tempat hajat” tersebut merupakan “tempat hajat VIP”. Baru kali ini penulis mendengar tempat hajat dibagi menjadi kelas-kelas tersendiri. Yang lebih menyakitkan lagi, sewaktu pengusiran dilakukan, “tempat hajat” tersebut sedang dalam keadaan kosong melompong, padahal banyak mahasiswa baru yang ngempet untuk menunaikan hajatnya. Sungguh sangat tidak manusiawi!!!! Saya kemudian teringat pada film Titanic pada adegan tenggelamnya kapal di mana sekoci-sekoci penyelamat banyak yang kosong, karena sekoci-sekoci itu hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas VIP, padahal sebagian besar penumpang lainnya masih banyak yang mencoba menyelamatkan hidupnya. Akibatnya, sebagian penumpang tersebut tidak selamat, mati beku bersama dinginnya laut atlantik. Padahal, kalau saja sekoci-sekoci itu diisi penuh, maka semua penumpang akan terselamatkan, seperti yang dijelaskan oleh sang insinyur arsitek kapal.
Sewaktu kuliah di sana, pada sekitar dua tahun pertama, penulis mendapatkan ruang kuliah yang sangat tidak representatif untuk dipergunakan dalam kegiatan belajar-mengajar pada sebuah perguruan tinggi. Ruang kuliah yang penulis tempati terpisah dari kampus utama fakultas. Kondisi ruangan itu kusam, lantainya sangat tidak terawat, dan meja kursi pun layaknya seperti meja kursi di SD dan SMP. Kondisi kacanya juga tidak bagus. Kaca pada jendela kanan kotor, sedangkan pada jendela sebelah kirinya lebih parah lagi, kosong melompong alias tidak ada kaca sedikitpun, hanya berteralis besi. Mungkin karena sudah jenuh dengan ketakutan kalau kaca tersebut pecah terkena “tendangan Tsubasa”. Hal itu dikarenakan ruangan tersebut persis berada di samping lapangan bola. Otomatis, Undip tak usah susah-susah lagi menganggarkan dana untuk beli Air Conditioner, karena semuanya sudah disediakan Tuhan secara gratis. Udara dapat masuk dengan bebas melalui teralis tersebut. Jangan tanyakan pula kebersihan dindingnya……………sepertinya tak ada petugas yang merawat tempat tersebut. Mungkin semua itu disesuaikan dengan jurusan kami yang terhitung jurusan “marginal” di universitas tersebut.
Hal itu belum lagi sewaktu penulis mengikuti mata kuliah komputer di sana, yang biayanya terpisah dari SPP dan dibayar pada awal masuk perguruan tinggi tersebut. Biayanya sebesar 300.000 rupiah, dengan materi kuliah berupa word, excel, power point, dan internet. Tapi jangan dibayangkan apa yang didapatkan dari semua itu sesuai dengan yang dibayarkan. Jumlah komputer tidak memadai dengan jumlah mahasiswa, kadang satu komputer dipakai dua mahasiswa. Pun begitu, pentiumnya pun model lama, sering ngadat, lambat, pokoknya tak enak dipakai lah………………… belum lagi pada materi kuliah bab internet, komputer yang online ke internet cuma satu. Jadilah satu komputer itu rame-rame dipakai buat alat praktek anak-anak sekelas. Mengenaskan ya. Padahal jika dibandingkan dengan kursus di luar, dengan materi yang sama kita cukup membayar setengah dari harga yang dipatok Undip.
Itu belum lagi perpustakaannya. Perpustakaan FS bawah (Pleburan), ruangannya kecil, jadi satu sama ruang Tata Usaha. Buku-bukunya pun tak lengkap, kusam, dan terdiri dari buku-buku lama. Perpustakaan pusat pun setali tiga uang. Perpustakaan tersebut berada di gedung Widya Puraya. Memang gedungnya cukup besar dan megah serta menjadi ikon Undip. Meski begitu, hanya tiga ruang yang dijadikan sebagai tempat baca. Gedung di lantai dua dan tiga yang menyimpan koleksi-koleksi buku. Dan sayangnya, hanya buku-buku di lantai dualah yang dapat dipinjam oleh Mahasiswa. Jangan tanya pula kondisi buku tersebut. Kondisi buku-buku tersebut banyak yang telah kusam,dsb. Akan tetapi saya memakluminya, namanya saja buku perpustakaan, jadi sering dipinjam dan akhirnya lecek. Sangat disayangkan koleksi buku-buku di sana banyak yang tidak diperbaharui, sehingga penulis kurang yakin akan proses transformasi Undip untuk menjadi Universitas riset. Bagaimana mau jadi universitas riset jika referensi pengetahuan yang dipergunakan tidak Up to date? Lantai atasnya lagi khusus menyediakan surat kabar dan majalah. Surat kabarnya, khusus edisi hari “H”, banyak yang tidak dipajang, sehingga dengan sangat terpaksa para mahasiswa hanya bisa membaca edisi kemarin dan kemarinnya lagi……………….untuk majalahnya pun sama saja, banyak yang tidak “fresh” dan menampilkan edisi-edisi lama.
Hal tersebut masih ditambah dengan ketiadaan alat praktek ketika mahasiswa mengikuti perkuliahan di sana. Mata kuliah yang penulis tekuni menuntut adanya alat praktek supaya mahasiswanya bisa mengerti secara langsung dan mempraktekkan teori yang ada di buku, tidak memahami dengan cara membayangkan apa yang diperintahkan teori tersebut. Padahal, dalam SPP mahasiswa terdapat rincian uang praktek, waktu itu per semester, penulis (angkatan 2002) dikutip 50.000 rupiah per semester sebagai uang praktek.
“Prestasi” itu belum ditambah dengan satu hal lagi yang penulis masih rahasiakan karena hal ini menyangkut kredibilitas Undip secara keseluruhan (dan sangat sensitif). Bagaimanapun juga penulis pernah berkuliah disana, sehingga prinsip “mikul dhuwur mendhem jero” yang terkadang pada kondisi tertentu penulis anut harus diterapkan pada kasus ini.
Akan tetapi bagaimanapun juga penulis mengucapkan selamat kepada Undip yang telah dimasukkan oleh THES sebagai salah satu universitas terbaik di dunia. Bisa jadi survey THES itu benar, karena universitas-universitas di bawah Undip mungkin mempunyai “prestasi” yang lebih hebat dibandingkan Undip sendiri. Itu artinya, hanya sebagian kecil (sangat kecil) universitas saja yang seharusnya layak dikategorikan universitas kelas dunia.

Sekali lagi saya ucapkan selamat!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Salam buat Mbak Tanti dan Bu Ut yang selalu aq repotin selama aq kuliah di sana.

No comments:

Post a Comment