Tuesday 17 March 2009

Parliamentary Threshold, pengkianatan terhadap demokrasi

Partai-partai kecil, seperti Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Patriot,Partai Persatuan Daerah, dan partai-partai lainnya berusaha untuk menguji materi UU no.10/2008 terkait dengan penerapan ambang batas keterwakilan parlemen. Parpol-parpol ini menggugat pasal 202 ayat 1 yang berbunyi "Partai Politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikuti dalam penentuan perolehan kursi DPR". Dalam hal ini, bagi partai yang suaranya kurang dari 2,5 persen, maka tidak dapat masuk ke DPR, dan kursi dari partai tersebut akan diberikan kepada partai lain yang suaranya mencapai 2,5 persen.
Hal ini sungguh sangat ironis, karena ini sama saja dengan menghilangkan suara rakyat, bahkan "merampok" suara rakyat. Bagaimana mungkin rakyat yang memilih partai A, tapi hanya gara-gara jumlah perolehan suara partai A tidak mencapai angka 2,5 persen, maka suaranya akan dialihkan ke partai lain yang sama sekali bukan pilihan dari rakyat tersebut? bahkan ini dapat disebut sebagai bentuk kedzoliman dalam kehidupan berdemokrasi kita. Janganlah ketika rakyat sudah capek-capek memilih, kemudian suaranya "dialihkan" begitu saja.....ini namanya mengkhianati demokrasi itu sendiri dan merupakan pembodohan terhadap kehidupan demokrasi itu sendiri. Ketika kita mengharapkan rakyat untuk tidak golput pada pemilu 2009 ini, tapi kita tidak mempunyai rasa terimakasih yang selayaknya untuk diberikan kepada rakyat.
Alasan parpol-parpol besar yang menyatakan bahwa terlalu banyak partai di parlemen akan mengganggu proses legislasi di parlemen memang masuk akal, akan tetapi bukan lantas kemudian parpol-parpol tersebut bisa dengan seenaknya "merampok" suara rakyat. Parpol di DPR direpresentasikan dengan fraksi. Tidak ada Partai Golkar, PDI-P, ataupun PPP di Parlemen. Yang ada adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI-P, ataupun Fraksi PPP. dan sebetulnya pembentukan Fraksi ini juga bisa dilakukan dengan penggabungan kursi-kursi yang diperoleh parpol di parlemen. Jadi sebenarnya yang membuat masalah bukanlah banyaknya parpol di parlemen, akan tetapi banyaknya fraksi, sehingga UU NO.10/2008 pasal 202 ayat 1 merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi.
Bentuk akal-akalan itu juga terlihat ketika alasan yang digunakan adalah untuk memperkuat dan memperlancar proses legislasi dengan mengurangi jumlah parpol, sehingga suara partai di parlemen itu kuat, tetapi jumlah suara parpol yang boleh masuk hanya 2,5 persen. Kenapa tidak minimal 10 persen, atau 15 persen saja, sehingga suara partai di parlemen nanti bisa benar-benar kuat, yang imbasnya akan memperkuat pemerintahan?
Hal ini tentu saja merupakan ketakutan dari partai-partai menengah yang telah mengkalkulasikan suara partainya tidak akan sebesar itu (minimal 10 persen).
Untuk itu, sebagai jalan tengahnya, saya usulkan, supaya yang dipangkas bukanlah jumlah parpol, akan tetapi jumlah fraksi, karena esensi sebenarnya dari efektifitas parlemen ini bukanlah banyaknya parpol, tapi banyaknya fraksi. Ada baiknya jika syarat untuk membentuk fraksi harus memenuhi jumlah kursi tertentu dan parpol yang tidak dapat memenuhi jumlah kursi untuk membentuk fraksi, dapat berhimpun untuk membentuk fraksi. Ini adalah jalan terbaik, dimana, parlemen bisa kuat, pemerintahan juga kuat, dan suara rakyat pun tidak hilang atau terampas oleh partai yang tidak berhak.
semoga ini dapat menjadi saran bagi pembuat kebijakan.

No comments:

Post a Comment