Thursday 19 March 2009

Golput Pada Pemilu 2009

Pada pelaksanaan pesta demokrasi kali ini, yang penulis rasakan saat ini di daerah penulis, di Kabupaten Semarang, yang saat ini memasuki tahap kampanye terbuka, berjalan kurang meriah dan kurang gereget. Hal ini tidak seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya dimana rakyat selalu menyambut hangat gelaran pesta demokrasi yang selalu hadir 5 tahun sekali itu. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, jauh-jauh hari rakyat sudah menyambut gelaran pesta demokrasi ini dengan semangat dan kemeriahan. Bahkan saking meriah dan semangatnya rakyat menyambut hajatan politik itu, tidak jarang terjadi situasi “panas” yang menyelimuti pendukung masing-masing. Pada sebuah desa yang tradisi NUnya kental, tapi beda partai, satunya PKB, satunya lagi PPP, bisa saling main boikot acara yasinan dan lain sebagainya. Penulis masih ingat bagaimana maraknya pula “wong cilik” pada tahun 1999 yang melihat harapan cerah pada PDI-P dan turunnya ratu adil pada sosok Megawati Soekarno Putri, mendirikan posko-posko dengan dana swadaya mereka sendiri. Penulis juga masih ingat betapa hebohnya waktu melihat kampanye PAN yang sangat atraktif. Bahkan penulis juga mengikuti konvoi kampanye PKS yang mengambil rute-rute “tikus” di desa-desa.

Namun, lain ladang lain belalang, lain dulu lain sekarang. Saat ini kampanye berjalan kurang gereget dan meriah. Memang, spanduk dan umbul-umbul partai sudah bertebaran semenjak satu tahun yang lalu. Dimana-mana terdapat spanduk, baliho, poster-poster dan stiker untuk memperkenalkan partai dan calonnya. bahkan pemasangan “iklan” lebih semarak dibandingkan sebelum-sebelumnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain karena sekarang semua mesin partai itu bergerak, terutama para caleg. Hal ini karena pada pemilu sekarang terdapat aturan, yang merupakan produk dari Mahkamah Konstitusi yang memberikan caleg dengan suara terbanyak untuk bisa masuk dan lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menghapus sistem ketidakadilan seperti pemilu-pemilu sebelumnya, dimana suara itu hanya diberikan untuk caleg yang biasanya berada pada nomor posisi atas, sesuai dengan kebijakan partai masing-masing. Hal ini menutup masuknya caleg-caleg yang berada pada nomor “sepatu”. Namun, hal itu tetap saja tidak mengubah kondisi saat ini bahwa rakyat sudah mulai apatis dan tidak mau peduli pada pesta demokrasi kali ini.

Ada beberapa alasan yang bisa saya sebutkan disini. Pertama, masyarakat sudah jenuh dan bosan dengan pesta demokrasi yang kerap digelar. Perlu diketahui bahwa, saat ini, dalam periode 5 tahun, rakyat dihadapkan pada 4 kali pelaksanaan pemilihan: Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, Pilkada Gubernur, dan Pilkada Bupati/Walikota. Mereka merasa capek dan terbiasa dengan digelarnya pemilihan-pemilihan tersebut, sehingga masyarakat tidak lagi menganggap datangnya pemilu sebagai sesuatu yang istimewa.

Kedua, ditengah himpitan ekonomi yang menjerat masyarakat, mereka tidak lagi memikirkan pemilu, parpol, dan lain sebagainya sebagai prioritas dalam kehidupan mereka. Mereka lebih mengutamakan bagaimana supaya keluarga mereka bisa makan, anak mereka masih bisa sekolah, bayi mereka masih bisa minum susu dan lainnya. Daripada mengikuti kampanye ataupun kegiatan parpol lainnya atau mungkin dengan datang ke TPS untuk memberikan suaranya, lebih baik kerja buat cari makan. Toh, dengan diselenggarakannya pemilu juga tidak akan berpengaruh banyak pada kehidupan mereka. Mereka masih susah cari beras, minyak, dan sembako-sembako lainnya.

Ketiga, citra lembaga legislatif yang terpuruk. Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan dengan berita-berita mengenai korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di lembaga dewan. Terakhir ini, kita dikejutkan oleh penangkapan anggota DPR dari PAN, Abdul Hadi. Hal itu tentu saja melukai hati para rakyat yang telah memilih mereka pada periode yang lalu. Cerita mengenai anggota dewan yang tertangkap tangan oleh KPK bukan hanya sekali dua kali ini saja, melainkan sudah sejak beberapa waktu yang lalu, rakyat disajikan cerita serupa. Belum lagi perbuatan bejat anggota dewan lainnya, seperti perselingkuhan, yang dulu sempat geger dengan rekaman handphone antara pedangdut Maria Eva dengan anggota dewan dari Partai Golkar, Yahya Zaini. Ironisnya, Yahya Zaini merupakan ketua sebuah departemen yang membidangi masalah keagamaan di partainya. Naudzubilahhimindzalik. Dunia sudah kebalik-balik. Baru saja kasus Yahya Zaini hilang dari ingatan, kita sudah dikejutkan lagi oleh kasus serupa yang dilakukan oleh Max Moein, dari PDI-P, yang juga foto perselingkuhannya beredar luas. Sungguh memalukan!!!!!!!!!!!!!!!!

Selanjutnya, rakyat tidak mengenal calon yang akan mereka pilih. Para caleg itu hanya sekedar memasang spanduk-spanduk dan poster-poster yang memajang nama dan wajah mereka, tanpa pernah sekalipun dikenal oleh rakyat sebelumnya. Hal ini ironis, sebab, seharusnya seorang wakil rakyat hendaknya lebih dulu dikenal oleh rakyat, sehingga rakyat tahu kualitas dan kapabilitas para caleg yang akan mereka pilih. Rakyat seharusnya tidak didorong untuk memilih caleg yang mereka kenal, tapi caleg terbaik yang mereka kenal. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh parpol, lembaga yang seharusnya paling bertanggungjawab mengenai masalah ini. Seharusnya, parpol-parpol itu semenjak jauh-jauh hari sebelum pemilu sudah mendorong kader-kadernya untuk bekerja mengabdi kepada rakyat. Akan tetapi yang ada kemudian adalah, caleg-caleg tersebut baru “nampang” dengan memasang wajah mereka di pohon-pohon ketika menjelang pemilu. Setelah pemilu berakhir, dan mereka terpilih, mereka bahkan lupa kepada rakyat yang telah memilihnya. Mereka sibuk korupsi dan tidak peduli lagi dengan nasib rakyat. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam mempertahankan hidup. Bahkan tidak jarang, mereka berkongkalikong dengan pihak lain untuk menindas rakyat, demi perut mereka sendiri. Kantor-kantor parpol memilih untuk tutup saja, karena mereka enggan untuk meneruskan kontrak kantor partai dan sebagainya. Intinya, rakyat hanyalah dijadikan sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri.

Untuk itulah, jangan heran ketika kita nanti akan melihat angka golput akan meninggi. Hal ini sudah terindikasi pada pilkada yang lalu, di mana, suara golputlah yang sering menjadi “pemenang pilkada”, dengan besaran angka 35-40 persen, bahkan lebih. Hal ini tentunya bukanlah salah KPU, karena tugas KPU hanya untuk menyelenggarakan pemilu saja. Tanggungjawab terbesar berada di pundak parpol, dimana mereka gagal dalam menjaga amanah dalam menjalankan amanat rakyat, bahkan mengkhianati amanah rakyat tersebut.


No comments:

Post a Comment