Sunday 22 March 2009

Enaknya Jadi Dosen Salah Satu PT di Jogja…………….

Sekitar satu tahun yang lalu, ada bukaan lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta. Untuk kedua kalinya saya pergi ke Jakarta setelah yang pertama kali saya menghadiri pernikahan saudara. Tapi kali ini saya harus pergi ke Jakarta sendiri, cari penginapan sendiri, dan sudah dipesan sama orang tua untuk tidak usah ke rumah saudara, takut ngerepotin. Setelah sampai di terminal Lebak Bulus, maka segera saya naik Kopaja ke kantor ANRI, dan kebetulan bertemu dengan rekan senasib dari Jogja yang juga berniat sama seperti saya, mengikuti tes seleksi penerimaan pegawai negeri. Akhirnya kita menemukan sebuah masjid di sekitar kantor ANRI sebagai tempat menginap, kebetulan di masjid tersebut juga menjadi “hotel” bagi rekan-rekan senasib lainnya, yang memilih untuk menginap di “Hotel Surga” tersebut. hehehehe………………….daripada nginep di The Sultan, Hyatt, Four Seasons, Santika, Atawa di Century Park Senayan, lebih baik kan di masjid, gratiiisss,tis,tis,tis, sekalian dapat nyium wangi surga khan? Itulah yang menjadi prinsip orang-orang kere seperti saya ini kalau di kota besar. Asalkan serba gratisan saja………………………

Ketika berada di kantor ANRI, untuk mengambil kartu tes, sembari menunggu, saya, dan teman-teman, duduk-duduk di depan Gedung ANRI yang cukup megah. Di situ juga sedang menunggu puluhan, atau mungkin ratusan orang calon peserta seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil lainnya, dari berbagai kota dan berbagai universitas di Indonesia, kebanyakan yang saya temui dari Jogja, sedangkan dari Semarang, sedikit. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Jogja lebih melek teknologi informasi dibandingkan anak Semarang. (Lowongan CPNS ANRI diumumkan via internet). Saya pun lantas berkenalan dengan mereka dan berbincang-bincang hangat.

Salah satu kenalan saya, sebut saja ia Mr.Bond. Ia lulusan dari universitas yang sangat bergengsi di kota Gudeg tersebut. Nggak usah nebak, pasti semuanya sudah pada tahu……… Di situ kami berbincang-bincang mengenai universitas kami masing-masing, kebetulan saya juga merupakan lulusan dari universitas yang amat bergengsi di kota lunpia. Kemudian perbincangan kami sampai pada topik mengenai dosen killer, terutama dosen pembimbing yang sering nyusahin mahasiswa bimbingannya ketika dalam proses menyelesaikan Tugas Akhir (TA) dan Skripsi.

Alkisah, Mr. Bond mengatakan bahwa di almamaternya pada zaman dahulu seorang dosen yang mempersulit skripsi mahasiswanya, maka si dosen tersebut akan menerima ancaman fisik dari si mahasiswa bimbingannya sendiri. Tapi itu dulu……………………………. lain dulu lain sekarang. Bila dulu si dosen merasa takut, tapi sekarang…………………….. waaaaaahhhhhhhhhhh, ueeeennaaaaaakkk bangetttt bosssss. Lanjutan kisahnya begini: Sekarang, dosen-dosen pembimbing di universitas tersebut, bila mempersulit proses pembimbingan pada anak bimbingannya sendiri, khususnya mahasiswi, maka si mahasiswi tersebut akan melakukan sesuatu yang “genit” terhadap si dosen tersebut, supaya urusan menjadi lancar, moncer, cespleng, n cepet-cepet lulus, trus diwisuda deh………………………………… Tentu saja kisah ini membuat saya menjadi terbelalak tak percaya. Sebuah universitas bergengsi di kota gudeg yang kesohorannya sudah melegenda dan dikenal di seluruh antero negeri mempunyai riwayat mahasiswi dan pak dosen yang seperti itu?

Sejenak tak percaya, kemudian saya berpikir……dan teringat akan sebuah ungkapan bahwa kalau pengetahuan, terdapat beda antara rektor dan pak tani, tetapi kalau soal moral, tidak ada yang beda di antara mereka. Itu artinya, suatu pangkat, gelar, jabatan, apakah itu rektor, dosen, insinyur, jenderal, atau mungkin haji, bahkan presiden sekalipun tidak bisa dikatakan akan mempunyai moral dan akhlak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pak tani, yang sekolah saja nggak tamat SR (Sekolah Rakyat/setingkat SD). Karena sama sekali nggak ada hubungannya antara ijazah yang tinggi dengan tingginya derajat moral si penerima ijasah tersebut. Hal ini karena sekolah, universitas, atau lembaga pendidikan lainnya bukanlah lembaga pendidik moral, akan tetapi lembaga/institusi penyebar pengetahuan semata. Memang, di dalam sekolah/universitas diajarkan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama, di kampus juga terdapat mata kuliah sejenis yang intinya mengajarkan watak moral yang baik dan budaya luhur, baik yang diajarkan di dalam agama maupun warisan leluhur nenek moyang kita yang sampai saat ini menjadi aturan moral tak tertulis dalam kehidupan di masyarakat yang kemudian aturan tersebut diadopsi negara ke dalam konstitusinya (Pancasila). Tapi, soal moral ini menyangkut nafsu dan hasrat manusia, di mana manusia sendiri mempunyai tingkat yang berbeda untuk bisa mengendalikannya. Sepintar apapun ia menghafal Al Qur’an, sehebat apapun ia mempunyai hapalan UUD 45, Pancasila beserta penjabarannya, ataupun ia sudah cum laude penataran P4 sekalipun, jika ia tidak bisa mengendalikan nafsu dan hasratnya, maka nilai-nilai moral tersebut akan ia labrak juga. Dan itu semua berpusat pada yang namanya……….HATI. Hal itu berdasar pada hadits Rasulullah SAW. yang menyatakan ada segumpal daging di dalam tubuh yang kalau daging tersebut baik, maka akan baik pula seluruh tubuhnya, tetapi bila daging itu buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Tentu saja istilah yang saya sebutkan barusan bukanlah istilah medis. Pembaca yang membaca tulisan ini adalah seorang intelektual yang tentunya bisa menerjemahkan hadis rasulullah tersebut!

Jadi kita nggak usah heran jika sekarang kita melihat bupati, gubernur, menteri ataupun Profesor yang pernah menjabat ketua KPU pada masuk penjara. Maka janganlah kita sekali-kali kita terkagum-kagum atau terkesima dan menganggap-anggap lebih pada seseorang yang mempunyai jabatan tinggi, siapa tahu orang itu rampok atau maling yang menggerogoti uang kita, uang rakyat. Karena bisa jadi semuanya itu PALSU!!!!!!!!!!!!!!!


NB: Tentu penulis pikir tidak semua dosen di universitas tersebut mempunyai perangai buruk seperti yang penulis ungkapkan di atas, melainkan hanya “oknum”, meskipun saya sebetulnya enggan menggunakan istilah oknum, karena biasanya istilah tersebut akan digunakan untuk menghilangkan tanggungjawab institusi terhadap elemen-elemennya yang bertindak menyimpang.

3 comments:

  1. betul bgt bung,,,moral itu gak kenal lulusan apa,,,biarpun orang no 1 di dunia pun blm tentu moralnya menang dari pak tani

    ReplyDelete
  2. betul bung, nilai moral tidak ada hubungannya dengan tingkat intelektual seseorang

    ReplyDelete
  3. mantap.
    Moralitas tidak mengenal institusi dan pendidikan.
    Namun sudah sewajarnya, suatu institusi menindak oknumnya yg melanggar norma.

    ReplyDelete