Sunday 15 March 2009

Membaca Arah Koalisi Parpol Menjelang Pemilu Legislatif

Pada beberapa hari lalu kita disuguhkan pemandangan yang menarik mengenai manuver beberapa elit Parpol menjelang dimulainya Pemilu Legislatif. Beberapa elit politik negeri ini sudah berancang-ancang untuk mewacanakan diri menjadi calon presiden. Sebutlah diluar Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir dipastikan maju kembali menjadi calon presiden pada Pemilu Presiden mendatang, nama-nama baru seperti Rizal Ramli, Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo Subiyanto, dan juga nama lama, Wiranto, yang kali ini menjadikan Partai Hanura sebagai gerbong lokomotifnya. Suhu mulai agak memanas ketika Partai Golkar “pecah kongsi” dengan Partai Demokrat setelah wakil ketua umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok “keseleo” lidah dengan menyatakan bahwa kemungkinan Partai Golkar hanya mendapat 2,5 persen suara. Hal itu memancing reaksi keras dari petinggi Partai Golkar, baik di tingkat pusat, maupun daerah. Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar, yang juga wakil presiden, Jusuf Kalla, yang saat itu sedang melakukan lawatan ke negeri Belanda, menyatakan bahwa, Partai Demokrat sedang bermimpi buruk. Kontan, Ketua Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, segera meralatnya. Dia menyatakan bahwa apa yang dinyatakan Ahmad Mubarok, bukanlah pernyataan Partai Demokrat, melainkan hanya pernyataan pribadi Ahmad Mubarok saja, sekaligus menghukum dengan teguran kepada Ahmad Mubarok.

Meski begitu, kader Partai Golkar sudah terlanjur marah terhadap statement Ahmad Mubarok tersebut. Partai Golkar, yang telah berkuasa selama 32 tahun di era pemerintahan Orde Baru, merasa dilecehkan dengan pernyataan tersebut. Karena itu, kemudian muncullah wacana dari dalam tubuh Partai Golkar supaya pecah kongsi saja dengan Partai Demokrat di Pemilu Presiden nanti. Hal ini menunjukkan bahwa, sebelum keluar pernyataan Ahmad Mubarok tersebut, Partai Golkar sudah merasa nyaman dengan komposisi duet SBY-JK. Hal ini karena duet tersebut dalam berbagai survey, masih menempati peringkat teratas dibandingkan dengan pasangan-pasangan lainnya. Apalagi, meski posisi Jusuf Kalla hanya sebagai wakil presiden, namun ia mempunyai bargaining dan posisi tawar yang tinggi terhadap pasangannya tersebut. Hal ini karena Partai Golkar mempunyai jumlah kursi yang lebih besar dibandingkan dengan Partai Demokrat, Rumah Susilo Bambang Yudhoyono.

Meski beberapa elemen Partai Golkar, seperti SOKSI sebelumnya sudah mengelus Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai bakal capres dari Partai Golkar, namun angin yang berhembus kemudian adalah keinginan kuat Partai Golkar untuk mengajukan Jusuf Kalla sebagai capresnya. Hal ini semakin menggelinding ketika Kalla menyatakan siap dicalonkan oleh Partai Golkar, yang kemudian mendapatkan apresiasi dari berbagai elit maupun partai politik. Maka kemudian beberapa partai pun segera mengadakan pertemuan dengan Jusuf Kalla. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mengundang Kalla untuk mengikuti diskusi politik di kantor pusat DPP PKS, mampang, Jakarta Selatan. Tentu saja dari pertemuan itu kemudian timbul spekulasi bahwa Kalla kemungkinan akan berduet dengan Hidayat Nur Wahid (HNW). Tapi tidak lama setelah itu, muncul kabar yang lebih heboh, yaitu pertemuan antara dua pucuk pimpinan partai terbesar negeri ini, yaitu Megawati, ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Kalla.

Tentu saja ini mengagetkan, karena posisi kedua tokoh ini yang berseberangan, dimana Jusuf Kalla menjadi wapres, sedangkan Megawati menjadi oposisi pemerintahan. Lalu, ada apa dibalik semua ini? Akankah keduanya akan menjalin koalisi?

Bila ini terjadi, maka koalisi yang akan mereka bentuk nantinya akan mempunyai suara yang cukup kuat di parlemen. Gabungan suara mereka di Pemilu nanti bisa berkisar antara 35-40 persen. Suatu gabungan jumlah suara yang cukup besar, apalagi jika dikaitkan dengan sistem politik di Indonesia yang menganut banyak partai.

Sementara itu, di pihak lain, ternyata Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkesan sepi-sepi saja dari pemberitaan mengenai pencapresan dirinya maupun manuver-manuver politik yang melibatkan dirinya menuju Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Akankah ini merupakan sebuah pertanda bahwa SBY bakal dikeroyok atau ditinggalkan oleh yang lain? Bila ini yang terjadi, maka beratlah perjalanan SBY ke depan, karena syarat pengajuan capres adalah bilamana suatu parpol mempunyai suara 25 persen dan kursi di DPR 20 persen. Kalaupun seandainya SBY kembali terpilihpun, tentu tantangan ke depan juga tidak akan kalah sulit, sebab, dia tidak akan mampu membangun pemerintahan yang solid, karena kekurangan suara pendukung di DPR kelak.


Kita nikmati saja pertarungan demi pertarugan dan maneuver demi maneuver yang dilakukan oleh elit-elit kita ini layaknya menonton film thriller.


No comments:

Post a Comment