Wednesday 25 March 2009

Akankah Indonesia Menjadi Pusat Ekonomi Syariah?

Saat ini kita sedang memasuki krisis keuangan global yang melanda semua negara di dunia. Salah satu harapan untuk memulihkan krisis ada pada ekonomi syariah, yaitu ekonomi yang berlandaskan pada syariah Islam. Karena itu, World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-5 yang diadakan di Indonesia mempunyai nuansa yang agak berbeda dibandingkan dengan forum yang diselenggarakan sebelumnya. Dalam sambutan pembukaan yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau mengatakan bahwa perbankan Islam harus mengambil posisi terdepan karena tidak terpengaruh krisis. Bank-bank yang menjalankan prinsip syariah ini tidak memasukkan aset-aset yang berbahaya dan berisiko karena dalam investasinya, bank syariah tidak mengenal sifat spekulasi. Selain itu, ekonomi syariah sebagaimana yang telah diajarkan Nabi Muhammad semenjak 1400 tahun yang lalu ini, juga mengenal prinsip keadilan.

Wapres Jusuf Kalla yang dikenal sebagai pedagang ulung pun dalam sambutannya pada saat membuka Pre-Forum 5th World Islamic Economic Forum menyatakan bahwa betapa prudentnya perekonomian Islam yang menggunakan real transaction yang condong lebih dapat bertahan terhadap guncangan perekonomian global yang diakibatkan penggunaan unreal transaction. Karakteristik dari perbankan syariah adalah menyalurkan pendanaan pada underlying asset karena hal tersebut merupakan persyaratan bank syariah. Dengan demikian, ketika krisis ini terjadi, dan bank-bank konvensional mulai oleng, maka bank-bank syariah yang relatif tidak terkena dampak krisis ini diharapkan dapat menjadi penopang selanjutnya dari ekonomi dunia, khususnya Indonesia. Pada sistem ekonomi syariah, yang menggunakan akad bagi hasil, membuat penyaluran dana ke sektor riil merupakan keharusan. Likuiditas untuk sektor riil di masa-masa sulit ini tidak boleh berhenti supaya roda ekonomi dapat terus berjalan.

Karena sifat yang tahan krisis itulah, ekonomi syariah, tidak hanya tumbuh di negara yang mayoritas berpenduduk muslim saja, akan tetapi negara-negara barat, seperti Eropa dan Amerika dan negara-negara non muslim lainnya juga menganut sistem ini sebagai salah satu sistem ekonomi mereka. Hal ini terlihat dari negara-negara non muslim yang menerbitkan sukuk global, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Tiongkok, dan Inggris.

Dalam forum ini, ketua WIEF, Tun Musa Hitam menyatakan bahwa forum kali ini akan menggapai prediksi kemakmuran Asia di abad 21 akan meningkat seiring kontribusi kelebihan keuntungan usaha komoditas di kawasan Timur Tengah dan Asia. Keuntungan dari negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council) seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Oman dan Bahrain serta Uni Emirat Arab pada bulan April 2008 saja mencapai USD 9 triliun.

Karena itu, diharapkan kemudian Indonesia untuk dapat meningkatkan ekonomi syariahnya dengan menggaet investasi dari Timur Tengah. Hal tersebut karena laju pertumbuhan pasar perbankan syariah baru mencapai 3 persen. Tapi hal itu bukanlah suatu hal yang menjadikan kita boleh merasa pesimis, mengingat perbankan syariah di Indonesia baru pertama kali ada tahun 1992 dengan bank muamalatnya. Dan kinerja Bank Muamalat pun menunjukkan kinerjanya yang positif. Pada 2004, bank tersebut mempunyai total aset Rp5,2 triliun dan laba bersih mencapai Rp 48,4 miliar. Bahkan, tahun lalu, Bank Muamalat menyalurkan Rp10,48 Triliun. Sedangkan pada tahun 2007 sebesar Rp 8,62 triliun. Secara umum, Kinerja perbankan syariah di Indonesia mencatat statistik yang fantastis. Pada tahun 2006, asetnya mencatat total Rp 26,722 triliun, sedangkan pada November 2008, mencatat angka Rp 47,178 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terkumpul pada tahun 2006, mencapai Rp 20,445 triliun, dan pada bulan November 2008, mencapai angka Rp 34,422 triliun.

Dengan demikian, sistem perbankan syariah masih mempunyai potensi yang luas untuk berkembang di Indonesia. Selain sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, juga ceruk pasarnya baru 3 persen dari keseluruhan pasar perbankan di negeri ini. Untuk itu, tidak heran jika investor asing mengalir masuk ke Indonesia.

Akan tetapi, minat investor asing itu ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hal ini karena regulasi yang tidak cukup untuk mengatur sistem syariah ini. Hal ini terlihat dari tidak adanya kepastian hukum terhadap instrumen investasi syariah, seperti obligasi korporasi syariah yang dasar hukumnya masih menggunakan peraturan tentang obligasi konvensional dengan sistem bagi hasil. Ironisnya lagi, lembaga keuangan syariah pun belum memiliki dasar hukum.

Lalu, apakah ke depan, dengan potensinya sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, mampukah Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah, minimal di kawasan Asia Tenggara, yang kini justru malah dipegang oleh Singapura?

No comments:

Post a Comment