Wednesday 25 March 2009

Mencoba Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Kita memprihatinkan kondisi bangsa yang semakin hari semakin terpuruk saja. Kerusakan moral terjadi di mana-mana. Penyimpangan akhlak sudah menjadi hal yang biasa. Penyakit “ma lima” menular dimana-mana. Hal ini tentu memprihatinkan kita semua. Masalah ini menjalar di semua kalangan masyarakat. Mulai golongan elite, sampai kalangan rakyat jelata. Hukum yang ada sudah tak lagi berdaya. Pelaku kejahatan tak pernah jera. Sepertinya kiamat sudah semakin dekat saja.

Yah, inilah gambaran Indonesia yang sebenarnya. Amat jauh sebenarnya gambaran negeri gemah ripah loh jinawi, masyarakat yang berbudaya, dsb. Mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak lagi. Setidaknya ungkapan itu pernah diungkapkan oleh Pongki Jikustik ketika akan melantunkan lagu Yogyakarta-nya Kla Project pada acara A-MILD LIVE SOUNDRENALINE di Jogja Agustus 2008 kemarin. Pongki mengungkapkan, bahwa masyarakat Jogja sekarang berbeda dengan masyarakat Jogja dulu, dimana masyarakat Jogja dulu masih dikenal dengan keramahannya, andhap asornya, dan sikap adiluhungnya. Entah sekarang.

Tentu kita berharap penyakit moralitas yang sudah menjangkiti bangsa ini tidak semakin menjalar dan bertambah parah. Salah satu alternatif yang kita butuhkan untuk mengobati penyakit bangsa tersebut adalah kembali kepada ajaran agama masing-masing. Tentu dalam hal ini agama tidak lagi ditempatkan ke dalam tataran ranah yang bersifat prifat, akan tetapi diterapkan ke dalam masyarakat luas secara formal dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Hal tersebut sejalan dengan sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, ajaran agama ini sebetulnya memang sudah lama masuk ke dalam konstitusi kita dan menjadikan agama bukan lagi sebagai nilai-nilai yang dianut berdasarkan nilai-nilai yang bersifat prifat.

Untuk itulah, penulis berharap bahwa dalam rangka mengatasi kegagalan hukum-hukum di Indonesia, yang notabene merupakan warisan pemerintah kolonial, dan ironisnya, tidak terpakai lagi di negara asalnya, alangkah baik jika kita mencoba menerapkan hukum syariat sebagaimana yang telah lama digaungkan. Hukum syariat adalah hukum yang bersumber dari-Nya, yang mana, seharusnya, kita sebagai umat beragama, wajib mengimani dan meyakini bahwa hukum tersebut adalah yang paling benar dan paling adil. Hukum syariat ini, juga, semoga dapat menjadikan obat penawar dahaga bagi pencari keadilan yang selama ini mendapatkan ketidakadilan kesewenang-wenangan dari “dewi keadilan” di negeri ini. Hukum syariat ini juga bersifat menjerakan bagi para palanggar hukum/pelaku kejahatan supaya ia tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari, dan menjadikan “monster” bagi yang lainnya supaya tidak melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum dan keadilan. Hal ini merupakan kebalikan dari hukum Indonesia selama ini, yang sama sekali tidak membuat jera/kapok bagi pelanggar hukum, dan tidak menjadikan sebagai “penakut” bagi yang lainnya untuk bertindak melanggar hukum. Hal ini berkaitan dengan tidak tegasnya aturan dan pelaksanaan hukum sekarang ini. Seringkali kita mendapatkan kerancuan hukum, dimana koruptor, yang merampok uang negara belasan atau puluhan miliar, hukumannya tidak lebih berat dari mereka yang hanya mencuri ayam milik tetangga. Belum lagi perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan kriminalitas lainnya yang hukuman bagi pelakunya tidak mencerminkan keadilan bagi korban. Masih ingat kasus Tommy Soeharto? Seorang anak mantan penguasa orde baru ini dituduh membunuh hakim agung, tapi kini sudah melenggang bebas menghirup nafas segar.

Tapi selama ini banyak kendala yang dihadapi dalam memperjuangkan hukum syariat ini ke dalam konstitusi kita. Kenapa? Tentu saja banyak pihak yang agamanya setengah-setengah tidak mau hukum ini diterapkan. Mereka tahu, bahwa hukum syariat ini sangat tegas menindak para pelangar hukum. Karena itu mereka takut, jika mereka melanggar hukum akan dikenakan hukuman yang sangat berat.

Selain itu, tentu saja ketidaksukaan yang tidak beralasan dari umat agama lain. Mereka selama ini beralasan bahwa pelaksanaan hukum syariat mencerminkan ketidakadilan dan perasaan/perlakuan yang tidak equal sebagai warga negara. Alasan ini juga mengada-ada. Hal ini karena hukum syariat hanya menyasar kepada umat baragama yang bersangkutan, bukan kepada umat agama lain. Hal ini tercermin dari pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Syariat Islam di Aceh tidak mencakup umat agama lain sebagai cakupan hukum syariat. Jika alasan mereka mereka merasa dianaktirikan, karena hukum syariat dijadikan sebagai hukum positif, toh mereka juga berhak untuk mengajukan hukum yang berlandaskan pada ajaran-ajaran agama mereka sendiri. Hal ini tentu saja akan memberikan warna yang sebenarnya dari cerminan masyarakat Indonesia, yang menurut presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Bagaimana mungkin masyarakat yang religius tidak melandaskan kehidupannya berdasarkan pada ajaran-ajaran agamanya. Selain itu, penerapan hukum agama ke dalam konstitusi kita juga merupakan amanah dari sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi, pilih mana? Hati nurani anda yang bicara.

1 comment:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
    di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
    Permasalahan sekarang, kondisi bejat seperti ini akan dibiarkan sampai kapan??
    Sistem pemerintahan jelas-jelas tidak berdaya mengatasi sistem peradilan seperti ini. UUD 1945 mungkin penyebab utamanya.
    Ataukah hanya revolusi solusinya??

    David
    HP. (0274)9345675

    ReplyDelete