Tuesday 5 May 2009

Penyiksaan Terhadap Para Tahanan Di Guantanamo dan Abu Ghraib Ternyata Menjadi Bumerang Bagi AS.

Bagaimana Penyiksaan Dapat Membantu Musuh-Musuh AS Penggunaan metode penyiksaan oleh AS telah terbukti kontra produktif dan dapat menuntun kematian banyak prajurit AS seperti banyaknya rakyat sipil yang juga terbunuh pada peristiwa 9/11.

Alasan mengapa para pejuang asing bergabung dengan Al Qaeda lebih banyak karena adanya penyiksaan yang dilakukan di Guantanamo dan Abu Ghraib, bukannya karena ideologi Islam” begitu ungkap mayor Matthew Alexander, yang secara pribadi telah menuntun 300 interogasi para tahanan di Irak. Tim interogator yang dipimpin oleh mayor Matthew Alexander bertugas untuk memperoleh informasi yang menjadikan militer AS mampu untuk mengetahui keberadaan Abu Musab Al-Zarqawi, pemimpin Al Qaeda di Irak.

Mayor Matthew Alexander menyatakan bahwa penyiksaan para tahanan merupakan gabungan dari penghinaan terhadap moralitas dan pelecehan yang profesional. Seorang intelijen kelas atas dengan pengalaman sebagai investigator kriminal di tubuh militer AS, menyatakan bahwa penggunaan metode penyiksaan tidaklah efektif, bahkan kontraproduktif. “Orang tersebut akan berbicara sesedikit mungkin untuk menghentikan penyiksaan terhadap mereka,” ungkapnya. “Mungkin mereka akan mengatakan kepada anda lokasi rumah yang digunakan oleh para pejuang, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu jebakan”.

Di buku yang berjudul “How To Break A Terrorist”, Mayor Matthew Alexander menjelaskan bahwa tahanan yang diancam penyiksaan biasanya akan berteriak, tidak mengatakan apapun, atau akan memberikan informasi yang sesat. Dalam sebuah wawancara, dia secara khusus menolak argumen “bom waktu” yang seringkali digunakan sebagai pembenaran akan sebuah penyiksaan terhadap para tahanan. Hal ini karena ada dugaan terdapat bom waktu yang akan diledakkan di jalanan yang mungkin akan membunuh banyak rakyat sipil. Pihak berwenang menahan orang yang mengetahui dimana bom tersebut berada dan haruskah mereka tidak menyiksa orang tersebut untuk mengetahui dimana keberadaan bom tersebut sebelum bom tersebut benar-benar akan meledak?

Mayor Matthew Alexander menyatakan bahwa ia menghadapi “bom waktu” tiap hari di Irak karena “kita menahan orang yang mengetahui bom bunuh diri yang akan terjadi”. Mengesampingkan argumen moral, ia mengatakan secara sederhana bahwa metode penyiksaan tidaklah berhasil. “hal itu semakin meneguhkan mereka. Mereka diam”. Ia menekankan bahwa FBI menggunakan metode normal untuk membangun kepercayaan bahkan ketika mereka menginvestigasi kasus penculikan dan kemudian waktu menjadi begitu penting.

Seorang prajurit karir, Mayor Matthew Alexander menghabiskan 14 tahun karirnya di angkatan udara AS. Ia mengawali karirnya dengan menerbangkan helikopter pada sebuah operasi khusus.

Tiba di Irak pada awal 2006, ia melihat bahwa tim dimana ia bertugas sangat berdedikasi, meskipun mereka masih muda, antara 18 sampai 24 tahun. “Banyak diantara mereka belum pernah ke luar AS sebelumnya”, ungkapnya lagi. “Ketika mereka menginterogasi seseorang seringkali hal tersebut merupakan perjumpaan mereka yang pertama kali dengan seorang muslim”. Sebagai tambahan kepada mereka yang masih kurang berpengalaman, Mayor Matthew Alexander menyatakan terdapat interogator yang menggunakan metode interogasi sebagaimana yang dipakai di Guantanamo. Metode tersebut, ungkapnya, berdasar pada penekanan “ketakutan dan kontrol” kepada para tahanan.

Ia menolak untuk mengambil bagian dalam penyiksaan tersebut, dan melarang tim yang ia pimpin menggunakan metode yang serupa. Alih-alih, katanya, ia lebih suka menggunakan teknik interogasi normal kepolisian AS yang “berdasarkan pada penguatan hubungan dan pada sebuah derajat kebohongan”. Ia menambahkan bahwa kebohongan tersebut seringkali berkaitan dengan hal-hal kecil seperti berbohong bahwa tahanan lain telah mengungkapkan semuanya. Sebelum ia mulai menginterogasi kelompok pejuang di Irak, ia mengatakan bahwa mereka mempunyai ideologi yang agung dan berkomitmen untuk membangun sebuah kekalifahan di Irak, ungkap Mayor Alexander. Dalam ratusan interogasi yang ia lakukan, begitu juga dengan lebih dari 1000 interogasi yang ia awasi, ia menemukan bahwa motif para pejuang asing serta pejuang local yang bergabung dengan Al Qaeda di Irak sangat berbeda dengan stereotip resmi mereka selama ini.

Alasan para pejuang asing datang ke Irak karena apa yang mereka dengar selama ini mengenai penyiksaan di Guantanamo dan Abu Ghraib. Penyiksaan inilah yang menjadi alasan mereka, dan bukannya karena fundamentalisme Islam, telah menyebabkan banyak para pejuang asing secara sukarela menjadi pelaku bom bunuh diri.

Untuk kaum Arab Sunni Irak yang bergabung dengan Al Qaeda, penyiksaan para tahanan tersebut memainkan sebuah peranan. Tapi lebih sering alasan perekrutan mereka karena politik daripada karena agama. Mereka mengangkat senjata karena kaum Arab syiah mengambil alih kekuasaan. De-baathification telah meminggirkan kaum sunni dan merebut pekerjaan mereka. Mereka menakutkan akan terjadinya pengambialihan oleh Iran. Di atas semua itu, Al Qaeda mampu untuk menyediakan persenjataan dan keuangan kepada para pejuang. Mayor Matthew Alexander menceritakan kembali bahwa komandan utama pasukan AS di Irak, Jenderal George Casey, mendatangi para tahanan di tempat Mayor Alexander bertugas. Jenderal George Casey kemudian bertanya apa yang menjadi motivasi para tahanan tersangka Al Qaeda. Kemudian Mayor Alexander menyatakan bahwa hal tersebut karena terdapat serangkaian motivasi yang cukup kompleks. Jenderal Casey tidak merespons. Apa yang menjadi temuan utamanya adalah banyak pejuang Sunni yang menjadi anggota, atau beraliansi dengan Al Qaeda karena keharusan. Mereka tidak memiliki ekstrimitas yang sama, kepercayaan Sunni puritan, ataupun kebencian kepada mayoritas Syiah. Ia mengatakan bahwa jenderal Casey mengelak soal temuannya, tapi ia senang ketika Jenderal David Petraeus menjadi komandan di Irak dan mulai memperhatikan motif para pejuang Sunni. “Ia menguliti kaum Sunni dari Al Qaeda” ungkapnya.

Setelah penugasannya di Irak, yang ia tinggalkan pada akhir 2006, Mayor Matthew Alexander mulai percaya bahwa perang terhadap penggunaa metode penyiksaan oleh AS lebih penting daripada perang di Irak itu sendiri. Ia melihat deklarasi presiden Obama yang menentang penggunaan metode penyiksaan sebagai “sebuah kemenangan bersejarah”, meskipun ia masih memberikan perhatian pada kurangnya akuntabilitas pada para pejabat senior. Berkaca pada interogasi yang ia lakukan, ia menyatakan bahwa ia selalu memonitor aksi yang ia lakukan dengan bertanya pada diri sendiri, “jika pihak musuh melakukan hal ini kepada salah seorang tentara saya, akankah saya mempertimbangkan mengenai sebuah penyiksaan? Pesannya secara keseluruhan adalah bahwa rakyat Amerika tidak boleh membuat pilihan antara penyiksaan dan teror.

No comments:

Post a Comment